Indonesia, Kawasan Perang Dagang Amerika-Tiongkok

Indonesia, Kawasan Perang Dagang Amerika-Tiongkok

Sebagaimana Catatan Dahlan Iskan Peran Dagang Siapa Menang?  perang dagang saat ini kian seru: Amerika Serikat vs Tiongkok. Siapa yang akan menang? Para ahli memperkirakan dua-duanya akan kalah. Awal bulan lalu, ketika Trump menyatakan ancaman kenaikan tarif impor, meski dalam akun Twitter pribadi, seperti dikutip Bloomberg, Trump berkicau bahwa apa yang dilakukan AS terhadap Cina bukanlah perang dagang. Saat ini, AS memiliki total defisit perdagangan sampai dengan $500 miliar per tahun, dengan pencurian kekayaan intelektual senilai $300 miliar. Menurutnya, hal ini tidak bisa dibiarkan terus berlanjut. Trump kemudian juga menulis “Ketika Anda sudah kehilangan $500 miliar, Anda tidak boleh kalah”. US Trade Representative (USTR) merilis proposal tarif impor bea impor masuk sampai dengan 25 persen, kepada lebih dari 1.300 produk asal Cina dengan nilai berkisar $50 miliar. Dokumen setebal 58 halaman yang ditandatangani oleh Robert E. Lighthizer tersebut, memuat secara rinci daftar produk asal Negeri Tirai Bambu yang dikenakan tarif bea masuk impor. Bahkan seperti dilaporkan Reuters, proposal tarif impor itu akan ditingkatkan menjadi $100 miliar. Dalam rincian daftar di laman sebagian besar produk Cina yang dikenakan tarif bea masuk impor berupa barang teknologi, senyawa kimia, transportasi, produk medis atau farmasi seperti antibiotik, robot industrial serta produk perakitan pesawat. USTR menyatakan pengenaan tarif impor ini sebagai hukuman bagi Cina yang dituding menjalankan praktik pelanggaran hak atas kekayaan intelektual milik perusahaan AS yang berekspansi di Cina. Aturan tersebut termaktub dalam Section 301 di bawah aturan perdagangan yang berlaku sejak Agustus 2017. USTR menetapkan produk Cina yang masuk dalam daftar pengenaan bea masuk impor melalui alogaritma dan diperingkat sesuai dengan besarnya dampak bagi konsumen AS. Daftar pajak impor yang diajukan USTR tidak termasuk produk yang berfokus pada produk konsumen seperti telepon seluler maupun laptop yang dirakit di Cina. Berselang 24 jam pasca pengumuman AS, negara yang dipimpin oleh Xi Jinping ini melancarkan serangan balasan dengan mengumumkan bea masuk tarif impor barang asal AS sebesar 15-25 persen untuk sekitar 106 produk. Proposal tarif impor ala Cina diterapkan pada produk impor utama asal AS seperti kedelai, pesawat, mobil, wiski, daging asal AS dan bahan kimia. Meski belum jelas kapan berlakunya, tapi Kementerian Perdagangan Cina menegaskan bahwa pengenaan tarif tersebut dirancang untuk memungut tarif produk AS hingga $50 miliar setiap tahun. Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani mengungkapkan lebih dari itu, perang dagang akan menimbulkan kekacauan global. “Sejarahnya, dampak perang dagang pasti buruk ke ekonomi dunia,” kata Sri Mulyani.  Pernyataan waspada juga diungkapkan Darmin Nasution. Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian ini, langkah Amerika menerapkan tarif impor tinggi akan meningkatkan penjulan baja Tiongkok ke beberapa negara. Keresahan produsen lokal akan banjir baja dari Cina cukup beralasan. Sebelum perang dagang dua negara tersebut, produk komoditas konstruksi dari Cina ini sudah mengguyur Indonesia sejak dua tahun lalu. Ketika itu, ekonomi dunia masih lesu. Industri Tanah Air pun mengerem berbagai rencana ekspansi, bahkan memangkas sejumlah produksi. Upaya mendatangkan barang dari luar negeri berkurang drastis. Pada April 2016, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan impor hampir semua komoditas anjlok. Namun tidak demikian dengan baja. Nilai impor baja membludak hingga US$ 79,2 juta (Rp 1,11 triliun), bertambah 34,59 persen dari Maret 2016. Dari mana asal komoditas tersebut? BPS mencatat ada tiga negara pengimpor baja terbesar saat itu: Cina, Jepang, dan Thailand. Banjir baja Tiongkok ini sangat terkait dengan melimpahnya produk yang mereka bikin. Rhodium Group, sebuah perusahaan konsultan internasional, menyatakan Tiongkok sedang mengalami surplus baja dalam jumlah besar –juga produk lain seperti semen, kertas, dan kaca. Dalam kalkulasi mereka, nilai produksi baja Cina lebih besar bila buatan Jepang, Amerika, dan Jerman digabungkan. Tak mengejutkan jika kenaikan produksi baja global sebesar 57 persen dalam satu dekade terakhir hingga 2014 kemarin dikuasi Cina sekitar 91 persen. Melihat perkembangan tersebut, produsen dalam negeri menjadi ketar-ketir sebab harga produk impor lebih miring. Sejumlah pelaku idustri mengusulkan agar pemerintah menerapkan anti dumping. Namun, Kementerian Perindustrian menyatakan kebijakan tersebut bukan pilihan tepat. Sebab, hal itu malah bisa berdampak buruk bagi industri Indonesia karena dapat memicu aksi balasan dari Cina. radarcirebon.com mengutip katadata  Eric Sugandi, pengamat ekonomi ADB Institue, menyatakan Indonesia memang masih begitu tergantung pada ekspor komoditas terutama ke Tiongkok. Karena itu, Indonesia lebih baik tidak menerapkan kebijakan proteksionis sebab berpotensi mendapat serangan balik. Sebagai solusinya, industri baja dalam negeri harus ditingkatkan agar lebih kompetitif. Selain baja, dampak perang dagang ini juga merembat ke industri lain secara umum. Menurut Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Shinta W Kamdani, rendahnya nilai PMI (Purchasing Managers\' Index) disebabkan karena pengusaha mewaspadai ketidakpastian baru dari perang dagang ini. Permintaan di pasar dunia pun menyusut sehingga produksi dalam negeri dikurangi. Hal itu diperlihatkan pada ekspansi bisnis industri manufaktur yang melemah pada kuartal pertama 2018. PMI Indonesia pada Maret 2018 berada pada level 50,7, lebih rendah dibandingkan Februari 2018 yang 51,4. Nilai PMI di atas 50 berarti industri makin berekspansi, begitu sebaliknya. Walau ada sejumlah kekhawatiran, Bank Indonesia meyakinkan bahwa perang dagang di pasar global saat ini akan memperoleh jalan keluarnya. “Trade war ini akan memperoleh suatu solusi sehingga tidak perlu terjadi kondisi yang sama-sama kita tidak inginkan,” kata Gubernur BI Agus Martowarojo, Selasa (3/4). (wb)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: